:: Malaka In Love ::

St. Paul Church Malacca
St. Paul Church Malacca

 

Entah kenapa, kota yang satu ini membuat diri saya selalu penasaran. Tak puas rasanya berjalan ke Malaysia tanpa berkunjung ke Malaka. Bahkan, andaikan sekali lagi diijinkan berkunjung ke negeri jiran ini, Malaka adalah kota pertama yang ada di otak saya untuk dikunjungi. Kota ini benar-benar istimewa, perpaduan kota kuno dan modern yang sangat harmonis mewarnai di pusat dan sudut kota. Sangat terlihat jelas dimana kawasan yang harus dilindungi, dan dimana kawasan yang dijadikan tempat modern, sehingga tidak campur aduk layaknya Jakarta yang kita cintai ini. Keramahan masyarkatnya yang multietnis pun memberikan suasana yang nyaman bagi kota ini. Apalagi setiap sudut kota bisa kita jelajahi walaupun dengan jalan kaki. Dan puncaknya pada pertengahan 2008 kemarin, UNESCO secara resmi menganugerahkan Malaka yang disebut pula “The Golden Chersonese” sebagai salah satu cagar budaya dunia di tepian Selat Malaka. Padahal, secara umur, masih ada kota Palembang atau Jambi, yang memiliki umur lebih tua (Malaka berusia 600-tahun an) dan layak dijadikan cagar budaya dunia. Namun promosi dan dukungan dari pemerintah serta rakyat Malaka ditambah fakta sejarah masa lalu sepertinya menjadi sebuah kekuatan yang membuat UNESCO menganugerahkan kota yang pernah menjadi pelabuhan terkaya di dunia ini sebagai salah satu aset sejarah dunia.

 

Saat saya berkunjung ke sana, saya benar-benar menyadari bahwa keseriusan pemerintah Malaysia terhadap pelestarian sejarah kota Malaka benar-benar luar biasa. Untuk menyokong Visit Malaysia 2007, sebuah terminal bus akses internasional Sentral Malaka dibangun sebagai pelengkap keberadaan pelabuhan lautnya dan bandara Batu Berendam. Minimalis, namun sangat elegan dan siap menyambut seluruh wisatawan yang berkunjung ke Malaka. Bila bingung untuk ke tengah kota, tenang saja, karena setiap 15-30 menit ada bus khusus (berwarna merah) yang menuju ke pusat kota Malaka. Selain itu, papan penunjuk arah pun juga sangat banyak. Aktivitas arkeologi di kota ini pun juga tertata dengan rapi dan mendapat antusias yang tinggi dari masyarakatnya

 

Sepanjang perjalanan ke pusat kota (Town Square), saya disuguhi kesan antik namun terawat dari Malaka. Jalan kecil untuk 2 mobil satu arah meliuk-liuk di tengah antiknya perpaduan arsitektur Melayu, India, Cina, dan Eropa. Komposisi bangunan Eropa disini mengingatkan saya akan keberadaan Jalan Braga saat pertama kali ke Bandung dahulu. Namun kesan antik Braga sudah sangat jauh berkurang, karena dipenuhi dengan mall dan kafe-kafe yang justru mengotori keantikan Braga itu sendiri.

 

Saat tiba di Town Square atau Red Square, kesan antik dengan nuansa merah bata tertuang saat melihat bangunan-bangunan peninggalan Portugis dan Belanda dahulu. Pertama-tama, saya menyerbu Stadhuys Malacca, bangunan berwarna merah ini lebih kecil dari pada Stadhuys Batavia, namun jauh lebih terawat. Terletak diatas bekas benteng Portugis dan dibangun oleh VOC pada 1650 sebagai tempat tinggal Gubernur VOC Malaka  dan kini diubah menjadi museum. Dahulu, bangunan ini tidak seluruhnya berwarna merah, namun untuk menyesuaikan dengan warna Christ Church, yang terletak di sebelahnya, seluruh bangunan dicat merah oleh Belanda. Lanjut ke Christ Church, bangunan ini dibangun pada 1753 dengan menggunakan bata impor dari Belanda (kenapa gak impor dari Indonesia aja yak?). 17 tiang kayu tanpa sambungan, brass bible, dan beberapa makam menghiasi bangunan ini. Di sebelah kiri gereja terdapat bekas kantor pos (dibangun 1931) dan memiliki beranda yang menghadap ke town square. Kini bangunan ini diubah menjadi Youth Museum. Berjalan mengikuti Jl. Kota, dapat ditemui beberapa bangunan bergaya Belanda kuno (tetap dengan warna merah bata), hingga saya berhenti di salah satu landmark terkenal Malaka, Porta de Santiago a.k.a. Gapura Santiago. Gapura ini merupakan satu-satunya bekas bangunan tersisa dari benteng raksasa Portugis, A Famosa, yang dibangun oleh Alfonso d’ Albuquerque pada tahun 1511 setelah menaklukan Kerajaan Malaka melalui ekspedisi yang cukup berat. Setelah menghancurkan Istana Malaka, dengan menggunakan sisa-sisa batu dari Istana Malaka tersebut, ia membangun benteng ini dan melengkapinya dengan sebuah kastil, 2 buah istana, 5 gereja, dan 2 rumah sakit sehingga membuat benteng ini menjadi salah satu benteng Portugis termegah di Timur Jauh. VOC kemudian mempertebal benteng ini dan menambah beberapa meriam setelah mereka mengambil alih Malaka dari tangan Portugis di tahun 1670. Pada tahun 1807, armada Inggris menyerbu Malaka dan meluluh-lantakan batu-batu benteng ini (konon ada yang sebesar gajah dan rumah..?!) hingga berkeping-keping. Sir Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai pimpinan Inggris dan peduli dengan peninggalan sejarah, panik dan segera menyelamatkan Porta de Santiago sebagai satu-satunya peninggalan Portugis yang tersisa. Dari Porta de Santiago, naik ke atas bukit Sao Paulo Hill, terdapat reruntuhan gereja yang dibangun Portugis pada tahun 1521. Namun, kaum Protestan Belanda menghancurkan atap dan mengubahnya menjadi benteng. Konon, St. Francis Xavier pernah dimakamkan di gereja ini sebelum dipindahkan ke Goa, India. Dari atas bukit ini kita bisa melihat hamparan laut Selat Malaka lengkap dengan Pulau Malaka nya. Luar biasa cantik.

Red Paving Road of Malacca
Paved Road in Malacca

 

Turun dari bukit, saya segera melarikan diri ke Malacca Sultanate Palace, yang merupakan rekonstruksi dari Istana Kerajaan Malaka pada abad ke-15 dan terbuat dari bahan kayu. Setelah puas dengan bangunan istana, saya segera meluncur ke jalan terkenal di Malaka, yakni Jonker Street atau Hang Jebat Street. Disini, banyak dijual barang-barang antik dan juga souvenir khusus dari Malaka. Namun saya memilih untuk mengitari Jalan Tun Tan Cheng Lock. Di kanan kiri jalan banyak sekali bangunan-bangunan khas Cina (mirip seperti di film-film kungfu) dengan kondisi masih seperti aslinya. Akhirnya saya berhenti di kediaman William Chan yang bernomor 50. Beliau merupakan salah seorang dari keturunan Baba dan Nyonya (keturunan dari 500 pendatang Cina yang datang ke Malaka bersama Putri Hang Li Po dan Laksamana Cheng Ho) yang bersedia rumahnya di sulap menjadi Baba and Nyonya Heritage Museum. Keadaannya masih sama persis dengan bentuk aslinya dan beberapa perabotan juga merupakan warisan leluhur beliau. Selanjutnya saya menuju ke Kampung Keling Mosque, yang merupakan masjid peninggalan Muslim India (Coromandel) dan dibangun pada 1748. Tempat wudlunya pun unik, karena tidak ada kran layaknya masjid secara umum dan kita harus jongkok untuk mengambil air wudlu dari kolamnya. Yang membuat unik lagi, di sebelah kiri masjid ini terdapat Klenteng Cheng Hoon Teng, yang dibangun pada tahun 1646 oleh pelarian dari Dinasti Manchu dan diperuntukkan kepada Dewi Kwan Yin, sementara di sebelah kanannya terdapat Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi Temple, yang merupakan salah satu kuil tertua di Malaysia dan dibangun pada tahun 1781. Namun kehidupan beragama disini cukup harmonis, dimana toleransi antar umat beragama cukup tinggi. Hal inilah yang membuat Malaka menjadi kota multietnis semenjak abad ke-15. Tidak jauh dari masjid ini, terdapat Makam Hang Jebat, sahabat Hang Tuah dan juga merupakan salah seorang pahlawan Kerajaan Malaka. Beliau terkenal dengan perkataan “..Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah..“. Dirinya terbunuh oleh Keris Tamiang Sari milik Hang Tuah setelah membuat keonaran di Malaka, karena membela Hang Tuah yang difitnah oleh salah seorang bangsawan Malaka. Beliau menuntut balas atas fitnah sahabatnya, namun sungguh ironis, ia terbunuh oleh sahabatnya sendiri karena tidak bisa mengontrol emosinya. Hingga akhirnya, beliau wafat diatas pangkuan Hang Tuah.

  

Sunset at Malacca RIver
Malacca River

Setelah lelah berkeliling, saatnya mengisi perut yang sudah kosong. Hanya berjalan kaki beberapa menit ke arah Jl. Temenggong, terdapat salah satu kedai yang menjual Martabak Keling dan dijamin halal. Kedai ini cukup ramai dan rupanya terkenal juga di Malaka. Harganya pun sangat murah. Setelah kenyang dari ufuk barat, senja telah menapak, saatnya untuk pulang. Saya pun segera melangkahkan kaki ke Town Square untuk menunggu bus menuju ke terminal. Sambil menunggu bus, saya mencoba berjalan melintasi jembatan yang melintasi Sungai Malaka dan dibangun ulang pada abad ke-19. Konon jembatan aslinya terbuat dari batu yang menghubungkan antara istana dengan pasar dan mampu dilewati oleh gajah sultan. Portugis menyerbu ke Malaka pun juga melewati jembatan ini setelah berhasil menyusuri aliran sungai. Saat menikmati sunset dan membayangkan sejarah masa lampau, angkutan saya pun akhirnya tiba. Dengan berat hati, saya melangkahkan kaki ke bus dan berharap, Allah memberikan saya kesempatan untuk mengunjungi kota indah ini kesekian kalinya. Dalam hati saya bergumam, kenapa Indonesia tidak mampu membuat konservasi sejarah seperti Malaka ini? Kota Tua Jakarta pun juga sudah mulai digerogoti dengan pembangunan di sana sini serta dipenuhi kerusakan di beberapa area pentingnya. Hmmm…nampaknya sekali lagi, kita harus belajar banyak kepada Malaka, bagaimana mereka menghargai dan mempertahankan kebesaran kota mereka. Selamat tinggl The Golden Chersonese, sampai jumpa Malaka.

8 thoughts on “:: Malaka In Love ::

  1. kota yg indah.
    bener yah…kenapa indonesia…terutama jakarta…tdk bs mengoptimalkan keindahan sejarah kota.
    padahal kita jg bs loh..kalo kita mau

  2. Terima kasih kerana dapat menggambarkan satu warisan sejarah negeri Melaka dengan cara yang cukup menarik. Walau saya pernah beberapa kali ke Melaka, namun jalan penceritaan yang ditulis oleh saudara lebih mendalami dan menjiwai dari apa yang saya fikirkan. Sememangnya Kerajaan Malaysia amat menghargai warisan budayanya agar tidak hilang di dunia kerana dengan cara itu sahaja, generasi akan datang dapat mengenal sejarah dan kebangkitan Malaysia (Tanah Melayu) di zaman lampau.

    Salam kenal dan hormat dari saya di UKM,Bangi, Malaysia.

    1. Terima kasih atas response nya Mas Kris. Semoga kesempatan itu akan datang. Atau sekalian saja fotografer.net buat hunting di Malacca.

      BR,

      Afrinaldi

Leave a comment